1. Sejarah Penemuan
Pertama yang mempelajari balantidiasis pada manusia dilakukan oleh Cassagrandi dan Barnagallo pada 1896. Namun, percobaan ini tidak berhasil menemukan pembuat infeksi dan tidak jelas apakah ia Balantidium coli atau bukan. Yang pertama kasus dari balantidiasis di Filipina, di mana ia adalah yang paling umum, dilaporkan pada 1904.
2. Hospes, Nama Penyakit dan Habitat
Balantidium coli merupakan protozoa usus manusia yang terbesar dan satu-satunya golongan ciliata manusia yang patogen, menimbulkan balantidiasis atau ciliate dysenteri. Penyakit zoonosis yang sumber utamanya adalah babi sebagai reservoir host, hidup di dalam usus besar manusia, babi dan kera. B.coli dalam siklus hidupnya memiliki 2 stadium, yaitu stadium tropozoit dan kista. Lingkaran hidup B.coli dan E.histolitica sama, hanya saja bentuk kista dari B.coli tidak dapat membelah diri sebagaimana layaknya E.histolitica.
3. Distribusi Geografik
Saat ini, Balantidium coli didistribusikan di seluruh dunia, namun kurang dari 1% dari populasi manusia yang terinfeksi. Babi adalah reservoir utama dari parasit, dan infeksi manusia lebih sering terjadi di daerah-daerah di mana babi banyak berinteraksi dengan manusia. Ini termasuk tempat-tempat seperti Filipina, sebagaimana disebutkan sebelumnya, tetapi juga termasuk negara-negara seperti Bolivia dan Papua Nugini.
4. Morfologi
Tropozoit berbentuk lonjong, ukuran 60-70 x 40-50 µm. Tubuh tertutup silia pendek, kecuali di daerah mulut silia lebih panjang (adoral cilia). Bagian anterior terdapat cekungan dinamakan peristom dan terdapat mulut (sitostom), tidak memiliki usus namun dibagian posterior memiliki anus (cy;cytoyge). Terdapat 2 inti yang terdiri dari makronukleus (maN;berbentuk ginjal) dan mikronukleus (miN;berbentuk bintik kecil) yang terdapat pada cekungan makronukleus. Terdapat vakuole makanan (berisi sisa makanan ; bakteri, leukosit, erithrosit, dll) dan vakuole kontraktil (cv)
Kista berbentuk bulat, ukuran 50-60 µ, dinding dua lapis, sitoplasma bergranul, terdapat makro & mikronukleus serta sebuah badan refraktil. Tropozoit hidup dalam mukosa dan sub mukosa usus besar, terutama di daerah sekum bagian terminal daripada illeum. Bergerak ritmis dengan perantaraan cilia. Tropozoit tidak dapat lama hidup di luar badan, tetapi kista tetap hidup selama beberapa minggu. Kista yang dapat hidup di luar badan adalah bentuk infektif. Bila tertelan oleh hospes baru, maka dinding kista hancur dan trofozoit yang dilepaskan masuk dinding usus, dan memperbanyak diri.
5. Siklus Hidup
Balantidium coli seperti yang terlihat di sebuah gunung basah dari contoh kotoran. The organism is surrounded by cilia Organisme yang dikelilingi oleh bulu mata.
Stadium kista dan tropozoit dapat berlangsung di dalam satu jenis hospes. Hospes alamiah adalah babi, dan manusia merupakan hospes insidentil. Jika kista infektif tertelan di dalam usus besar akan berubah menjadi bentuk tropozoit. Di lumen usus atau dalam submukosa usus, tropozoit tumbuh dan memperbanyak diri (multiplikasi). Jika lingkungan usus kurang sesuai bagi tropozoit akan berubah menjadi kista.
Stadium kista parasit yang bertanggung jawab dalam proses penularan balantidiasis (1). Umumnya kista tertelan melalui kontaminasi pada makanan dan air (2). Setelah tertelan, terjadi excystation pada usus halus, dan tropozoit berkoloni di usus besar (3)Tropozoit dalam lumen usus besar binatang dan manusia, dimana memperbanyak diri dengan cara pembelahan binary fission (4). Tropozoit menjadi kista infektif (5). Beberapa tropozoit menginvasi ke dinding usus besar dan berkembang, beberapa kembali ke lumen dan memisahkan diri. Kista matang keluar bersama tinja (1)
Reproduksi
Berlangsung secara binary transverse fission (belah diri melintang), yaitu tropozoit melakukan pembelahan diri dan secara konjugasi, dimana 2 tropozoit membentuk kista bersama, dan kemudian bertukar material dari inti dan berpisah kembali menjadi 2 tropozoit baru.
6. Patologi dan Gejala Klinis
Pada umumnya balantidiasis tidak menampakkan gejala klinis, dan infeksi pada manusia terjadi karena makan kista infektif yang tertelan bersama air atau makanan yang telah tercemar tinja babi atau penderita lainnya. Pada usus besar (utamanya) menimbulkan ulserasi, sehingga menimbulkan perdarahan dan pembentukan lendir di tinja penderita. Penderita tidak mengalami demam pada kasus balantidiosis usus besar.
Mukosa dan submukosa usus diinvasi dan dirusak oleh jasad yang memperbanyak diri. Invasi berhasil dengan bantuan fermen-fermen sitolitik dan penerobosan secara mekanik. Parasit memperbanyak diri dengan membentuk sarang dan abses kecil yang kemudian pecah menjadi ulkus yang lonjong dan tidak teratur dengan pinggiran merah yang menggaung. Dengan kelainan mulai dari hiperemi cataral yang sederhana sampai pada ulkus yang jelas. Masing-masing tukak mungkin terpisah dengan mukosa yang normal atau hiperemik di antaranya atau ulkus-ulkus itu menjadi satu dengan sinus-sinus yang saling berhubungan.
Pada semua kasus berakibat fatal terdapat ulkus multipel dan difus dan terdapat gangren. Sediaan histologik menunjukkan daerah-daerah hemoragik, infiltrasi sel bulat, abses, ulkus nekrotik, dan terdapat invasi parasit, reaksi utama ialah sel inti satu yang menyolok kecuali bila ada infeksi bakteri yang sekunder. Pada waktu eksaserbasi pada infeksi yang kronis terdapat ulkus-ulkus kecil dan tidak jelas. Mukosa mengalami peradangan merata dan mungkin terdapat daerah-daerah kecil yang diliputi suatu membran dan di bawahnya ada jaringan yang terkelupas. Pada infeksi sedang yang akut mungkin terdapat tinja yang encer sebanyak 6 - 15 x sehari dengan lendir, darah dan nanah. Pada keadaan kronis mungkin terdapat diare yang timbul-hilang diselingi oleh konstipasi, nyeri pada colon, anemi dan cachexia.
Banyak infeksi berjalan tanpa gejala, dan prognosis tergantung pada hebatnya infeksi dan reaksi terhadap terapi. Prognosis baik pada infeksi tanpa gejala dan pada infeksi kronis. Balantidiasis tidak berhasil menyerbu hati. Jumlah infeksi yang kecil dan kegagalan untuk menimbulkan infeksi secara eksperimen, menunjukkan kekebalan bawaan yang tinggi pada manusia.
7. Diagnosa penyakit
Secara klinik balantidiasis dapat dikacaukan dengan disentri lain dan demam usus. Diagnosis tergantung pada berhasilnya menemukan trofozoit dalam tinja encer dan lebih jarang tergantung pada penemuan kista dalam tinja padat, dan tinja harus diperiksa beberapa kali, karena pengeluaran parasit dari badan manusia berbeda-beda. Pada penderita dengan infeksi di daerah sigmoid-rectum, pemakaian sigmoidiskop berguna untuk mendapatkan bahan pemeriksaan.
Diagnosis laboratorium dapat ditentukan dengan pemeriksaan tinja untuk menemukan bentuk kista atau tropozoit Balantidium coli.
8. Pengobatan
Obat-obatan yang sering digunakan adalah diiodohidroksikinolin (iodokuinol) 3 x 650 mg/hr selama 20 hari atau tetrasiklin 4 x 500 mg/hr selama 10 hari. Sedangkan obat pilihan adalah metrodinazol 3 x 750 mg/hr.
9. Epidemiologi
Pada manusia frekuensi Balantidium coli rendah, sedangkan frekuensi pada babi tinggi berkisar anatar 63 - 91%. Babi mengandung Balantidium coli dan Balantidium suis. Spesies Balantidium coli dapat menular kepada manusia sedangkan Balantidium suis tidak dapat ditularkan kepada manusia.
Tetapi babi tidak satu-satunya hewan dimana parasit ditemukan. Jepang dalam sebuah kajian yang menganalisis fecal sampel di 56 spesies berhubung dgn Hewan mamalia, Balantidium coli ditemukan tidak hanya dalam semua Babi liar diuji (dengan boars liar dan babi yang dianggap spesies yang sama), itu juga ditemukan dalam lima jenis spesies non manusia: Simpanse (Pan troglodytes), Hylobates lar, Squirrelmonkey (Saimiri sciurea), Kudus yakis (Comopithecus hamadryas), dan Jepang macaque (Macaca fuscata). Dalam studi lainnya, adalah Balantidium coli juga ditemukan di spesies dari pesanan Rodentia dan Carnivora.
Bukti epidemiologi yang menyokong pendapat bahwa babi bukan sumber utama daripada infeksi manusia, dan ini bertentangan dengan pendapat dahulu. Frekuensi infeksi rendah pada manusia yang bekerja di daerah-daerah yang ada hubungan erat antara mereka dengan babi dan manusia refrakter terhadap infeksi dengan “strain” babi. Bila terjadi suatu wabah maka manusia yang menjadi sumber infeksi utama, di mana penularan terjadi dari tangan ke mulut dan dari makanan yang terkena kontaminasi.
10. Pencegahan
Memerlukan langkah-langkah pencegahan efektif kebersihan pribadi dan masyarakat. Beberapa pengamanan khusus meliputi:
v Pemurnian dari air minum.
v Penanganan makanan yang tepat.
v Memperhatikan pembuangan kotoran manusia.
v Pemantauan kontak dari pasien balantidiasis.